Jumat, 04 Januari 2013

ushul fiqh


BAB I. PENDAHULUAN
a
Didalam al-Qur’an tidak kurang dari 19 ayat yang berkaitan dengan kata Fiqh dan semuanya dalam bentuk kata kerja seperti didalm surat at-Taubah ayat 122. “Hendaklah dari tiap-tiap golongan mereka ada serombongan orang yang pergi untuk memahami (mepelajari) agar memberi peringatan kepada kaumnya, apabila mereka telah kembali kepada-Nya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Dari ayat ini pengertian bahwa Fiqh itu berarti mengetahui, memahami, dan mendalami ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Dalam perkembangan selanjutnya, yakni setelah daerah islam meluas dan setelah cara Istinbath menjadi mapan serta fiqh menjadi satu disiplin ilmu yang tersendiri, maka fiqh diartikan dengan “Sekumpulan hukum syara’ yang berhubungan dangan perbuatan sehari-hari yang diketahui melalui dalil-dalialnya yang terperinci dan dihasilkan dengan jalan ijtihad”.
Setelah kita mengetahui pengertian Fiqh, akan timbul pertanyaan darimana fiqh itu apa sumber dan dalilnya, bagaimana mengistinbatkan hukum. Itu semua dibahas dalam ilmu Ushul Fiqh. Disebut demikian karena ilmu ini menjadi dasar atau pondasi ilmu fiqh. Didalam kajian fiqh islam hukum berdasarkan karakter dasar yang melekat pada dirinya, dibagi menjadi dua yaitu hukum Taklifi dan hukum Wadl’i.
Hukum taklifi inilah yang didefinisikan sebagai hukum syar’i yang mengandung tuntutan mengerjakanya dan meninggalkan ataupun pilihan diantara keduanya yang kemudian dinamakan al-Ahkam al-Khamsah.




1.2         Rumusan Masalah
A.       Apa yang dimaksud dengan hukum?
B.       Apa definisi dari hukum taklifi?
C.       Bagaimana pembagian dan bentuk – bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin?
D.       Bagaimana pembagian dan bentuk – bentuk hukum taklifi menurut ulama hanaffiyah?
1.3         Tujuan dan Manfaat
A.       Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan hukum
B.       Untuk mengetahui definisi dari hukum taklifi
C.       Untuk Menganalisis dan memahami pembagian dan bentuk – bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin
D.       Untuk mengetahui pembagian dan bentuk – bentuk hukum taklifi menurut ulama(hanafiyyah)











BAB II. PEMBAHASAN
2.1    Pengertian hukum
mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut :
خِطَا بُ اللهِ الْمُتَعَلّقُ بِاَ فْعاَ لِ الْمُكَلّفِىنَ اِقْتِضَاءً اَوْ تَخْىِىْرًا اَوْوَضْعاً
Artinya “ kalam allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik yang bersifat imperatif, fakultatif, atau menempatkan sesuatu sebagai  sebab, syarat dan penghalang “.
Yang dimaksud khitbah allah diatas adalah semua bentuk dalil, baik al-qur’an, as-sunnah maupun yang lainya. Dan yang dimaksud dengan yang menyangkut perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati, seperti niat dan perbuatan ucapan. Sedangkan yang dimaksud dengan imperatif (iqtidha) adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu, seperti memerintah atau tuntutan untuk meninggalkanya yakni melarang, baik tuntutan itu bersifat memaksa ataupun tidak. Dan yang dimaksud dengan fakultatif (tahyir) adalah kebolehan untuk memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkanya dengan posisi yang sama. Definisi hukum tersebut merupakan definisi hukum sebagai kaidah, yakni patokan perilaku manusia.
2.2    Pengertian hukum taklifi
Bertitik tolak pada definisi hukum diatas, maka hukum menurut ulama ushul terbagi dalam dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i. Dan yang dimaksud dengan hukum taklifi adalah firman allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan.
Contoh firman allah SWT yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan :
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya “Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat. (Qs. An-nur : 56)

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ
Artinya “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah”.(Qs. Al-imran 97)

Contoh firman allah SWT yang bersifat menuntut untuk tidak berbuat atau meninggalkan perbuatan :
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
ArtinyaDan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil”.(Qs. Al-baqarah : 188)
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا
Artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina”.(Qs. Al-isra’ 32)

Contoh firman allah SWT yang bersifat memilih antara berbuat atau meninggalkan :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Artinya “ dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.(Qs. Al-baqarah 187)

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ
 Artinya ‘Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sholat”. (Qs. An-nisa 101)




2.3    Pembagian dan bentuk – bentuk hukum taklifi
Terdapat beberapa golongan ulama dalam menjelaskan pembagian bentuk – bentuk hukum taklifi. Pertama, bentuk – bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh/mutakllimin. Menurut mereka bentuk – bentuk hukum tersebut ada lima macam, yaitu :
a.        Ijab
Yaitu tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan, orang yang meninggalkan akan dikenai sanksi. Misalnya, firman allah dalam surat An-nur : 56
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya “ Dan dirikanlah sholat, dan tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.(Qs. An-nur 56)
Dalam ayat ini allah mengguanakan lafazh amr yang menurut ahli ushul fiqh menghasilkan ijab, yaitu kewajiban mendirikan solat dan membayar zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan dengan perbuatan orang mukallaf maka disebut dengan wujub. Sedangkan perbuatan yang dituntut itu (sholat dan zakat) disebut dengan wajib.
Oleh sebab itu istilah ijab menurut ulama ushul fiqh terkait dengan khitbah (tuntutan) allah, yaitu ayat diatas. Sedangkan wujub merupakan akibat dari khitbah tersebut dan wajib adalah perbuatan yang dituntut oleh khitbah allah.
b.        Nadb
       Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan lebih sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya dan Orang yang meninggalkanya tidak dikenai sanksi. Yang dituntut untuk dikerjakn itu disebut mandub, sedangkan akibat dari perbuatan itu disebut nadb. Misalnya dalam Qs. Al-baqarah 282
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
       Artinya “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”. (Qs. Al-baqarah 282)
       Lafazh faktubuhu (maka tuliskanlah olehmu) pada dasarnya mengandung perintah (wujub), tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang terdapat dalam lanjutan dari ayat tersebut (al-baqarah 183)
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
       Artinya “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya...”. (al-baqarah 183)
       Tuntutan wujub dalam ayat itu berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini adalah lanjutan ayat diatas, yaitu allah menyatakan jika ada rasa saling mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting atau tidak perlu ditulis.
       Abu zahrah yang mengadakan pengkajian terhadap hukum-hukum syara’, berkesimpulan bahwa mandub/nadb terdiri atas tiga tingkatan.. yaitu :
1.    Sunnah muakkadah, yaitu amalan yang dikerjakan nabi secara tetap. Seperti solat terawih, solat dua rakaat sebelum fajar, sesudah duhur, sesudah magribh, dan sesudah isya’.
2.    Sunnah bukan muakkadah, adalah amalan yang dilakukan nabi secara insidental, tidak terus menerus, seperti solat empat rakaat sebelum dhuhur, sebelum ashar, dan sebelum isya’.
3.    Hal-hal yang dilakukan nabi yang berkaitan dengan tradisi atau kebiasaan nabi sehari-hari. Seperti pakaian nabi, makanan  dan minumanya, dan lain-lain.

c.         Ibahah
       Yaitu khitbah allah yang bersifat fakultatif (boleh memilih), mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat dari khitbah allah ini disebut dengan ibahah. Sedangkan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya dalam firman allah Qs. Al-maidah 2
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا
       Artinya “dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu..”. (Qs. Al-maidah 2)
       Ayat ini juga menggunakan lafal amr (perintah) yang mengandung ibahah (boleh), karena ada indikasi yang memalingkanya kepada hukum ibahah.
d.        Karahah
       Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenai sanksi. Akibat dari tuntutan seperti ini disebut juga karahah. Sedangkan perbuatan yang dikenai khitbah itu disebut makruh. Misalnya hadist nabi muahammad SAW :
اَ بْغَضُ اْلحَلَا لِ عِنْدَ اللهِ اَلطّلَا قُ
       Artinya “perbuatan halal yang paling dibenci allah adalah talak”.  
e.         Tahrim
       Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Misalnya firman allah dalam Qs. Al-an’am 151

وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ
       Artinya “...dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah...”.
       Banyak perbedaan istilah-istilah yang dikemukakan para ahli ushul fiqh dalam hukum taklifi ini. Seperti untuk sifatnya perintah ada tiga istilah, yaitu ijab, wujub, wajib, dan lainya. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan sisi pandang pada persoalan tersebut.  Apabila khitbah tersebut dilihat dari sisi allah sebagai penuntut, maka tuntutan ayat ini disebut ijab. Dan apabila dilihat dari sisi mukallaf yang dituntut untuk melaksanakanya, maka tuntutan ayat ini disebut wujub. Sedangkan istilah wajib merupakan sifat dari perbuatan mukallaf yang dituntut allah.
Kedua, bentuk – bentuk hukum taklifi menurut ulama hanafiyyah :
a.        Iftiradh
       Yaitu tuntutan allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa dengan berdasarkan dalil yang qath’i.
b.        Ijab
       Yaitu tuntutan allah yang bersifat memaksa kepada mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi melalui dalil yang bersifat zhanni (relatif benar). Misalnya kewajiban membayar zakat fitrah, membaca alfatihah dalam shalat, dan ibadah qurban.
c.         Nadb
       Maksudnya sama dengan nadb yang diungkapkan ulama mutakallimin, yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan lebih sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya dan Orang yang meninggalkanya tidak dikenai sanksi.
d.        Ibahah
       Yaitu khitbah allah yang bersifat fakultatif (boleh memilih), mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat.

e.         Karahah tanzihiyyah
       Yaitu tuntutan allah yang bersifat memaksa kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi tidak bersifat memaksa. Misalnya larangan berpuasa pada hari jum’at.
f.          Karahah tahrimiyyah
       Yaitu tuntutan allah yang bersifat memaksa kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan cara memaksa dan didasarkan pada dalil yang zhanni. Hukum ini sama dengan haram yang dikemukakan ulama mutakallimin.
g.        Tahrim
       Yaitu tuntutan allah yang bersifat memaksa kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan cara memaksa dan didasarkan pada dalil yang qath’i. Misalnya dalil yang melarang untuk membunuh orang dan berbuat zina.












BAB III. PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Hukum adalah kalam allah yang menyangkut perbuatan mukallaf baik yang bersifat imperatif, fakultatif, atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat dan penghalang.
hukum taklifi adalah firman allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan.
Pembagian dan bentuk-bantuk hukum tafsili menurut beberapa ulama. Pertama, bentuk–bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh/mutakllimin. Menurut mereka bentuk–bentuk hukum tersebut ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah, dan tahrim. Sedangkan yang Kedua, bentuk – bentuk hukum taklifi menurut ulama hanafiyyah yaitu antara lain adalah iftirad, ijab, nadb, ibahah, karahah tanzhiliyyah, karahah tahrimiyyah, dan tahrim.
       Banyak perbedaan istilah-istilah yang dikemukakan para ahli ushul fiqh dalam hukum taklifi ini. Seperti untuk sifatnya perintah ada tiga istilah, yaitu ijab, wujub, wajib, dan lainya. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan sisi pandang pada persoalan tersebut. Sedangkan perbedaan pembagian hukum taklifi antara jumhur ulama mutakallimin dengan ulama hanafiyyah diatas bertolak dari sisi kekuatan dalil.







Daftar pustaka
Syafe’i, Rahmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia
Zuhdi, Masjfuk. 1987. Pengantar Hukum Syari’ah. Jakarta: CV Haji Masagung
Khallaf, Abdul Wahab. 1977. Ilmu Ushul Fiqh (Kaidah Hukum Islam). Jakarta: pustaka amani



Tidak ada komentar:

Posting Komentar