Rabu, 20 Februari 2013

SEJARAH FIQIH SEJAK JAMAN TABI’IN SAMPAI SEKARANG

SEJARAH FIQIH SEJAK JAMAN TABI’IN SAMPAI SEKARANG
MAKALAH
Ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fiqih yang dibina oleh Bpk.Wadud Nafis. Lc







Oleh:
• Dyah Ayu Helida (083112014)
• Dini Lutfiah Berlian (083112023)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JEMBER
Oktober, 2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.
Dalam penyusunan makalah ini, selain memenuhi tugas dari dosen pembimbing juga untuk menjelaskan tentang “SEJARAH FIQIH SEJAK ZAMAN TABI’IN SAMPAI SEKARANG” Serta dengan tersususnnya makalah ini dapat menambah wawasan bagi penbaca pada umumnya dan bagi teman-teman mahasiswa pada khususnya.
Kami sadari meski makalah ini telah rampung tapi masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca maupun pendengar, demi kelancaran dan kesempurnaan tugas kami yang selanjutnya.



Penyusun







BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum islam atau fiqih, meskipun bersumber pada Al-Quran dan Sunnah Rasul, tenyata beranekaragam dalam konsep maupun formulasinya. Setiap fuqaha’ memiliki metode yang tidak sama dalam memahami setiap pernyataan Al-Quran maupun Sunnah. Karena itulah dalamhukum islam terdapat berbagai macam aliran atau madzhab.
Perbedaan madzhab ini semakin tajam pada zaman modern sekarang, setelah Dunia Islam semakin mengenal pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep hokum lain diluar Islam,terutama yang dating dari Barat. Semakin majemuknya masyarakat dan warganegara di Negara-negara Islam juga ikut brpengaruh terhadap proses penajaman perbedaan ini.


B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana cara penetapan hukum Islam pada masa Tabi’in ?
b. Apa yang teerjadi pada hukum Islam setelah memasuki zaman modern ?

C. Tujuan
Untuk menjelaskan tentang bagaimana hukum Islam setelah mengalami perpindahan dari zaman ke zaman.






BAB II
PEMBAHASAN
Periode Tabi’in
Tabi’in dan imam –imam mujtahid (abad ke dua dan ke tiga hjriyah), kekuasaan islam semakin berkembang dan banyak orang-orang dari non arab memeluk agama islam. Sehingga kaum muslimin menghadapi masalah-masalah baru, berbagai kesulitan, bahasan pandangan gerakan pembangunan dan spiritual, yang kesemuanya itu mendorong kepada para imam mjutahid, untuk memperluaas bidang ijitihad, danmenetapkan hukum-hukum syara’ atas kejadian-kejadian tersebut serta membuka pintu bahasan dan pandanganbar bagi mereka. Semakin luaslah medan penetapan hukum-hukum fiqih, dan ditetapkan pula hukum-hukum yang mungkin akan terjadi dengan di dasarkan kepada hukum-hukum pada periode pertama dan ke dua.
Pada periode ini hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum Allah dan Rosulnya, fatwa dan putusan sahabat, fatwa imam mujtahid dan hsil ijtihad mereka, yang besumber dari Al-Quran, As-Sunnah, dan ijtihad imam-imam mujtahid. Pada abad ini di mulailah pembukuan hukum-hukum syara’ seiring pembuktian hadits. Hukum-hukum tersebut dibentuk menjadi sebuah disiplin ilmu karena telah disertai dengan dalil, alasan, dan dasar umum yang menjadi pokok dari hukum tersebut, ahlinya di sebut ilmu fiqih.
Adapun hukum yang di tetapkan dengan jalan ijtihad para sahabat dan tabi’ in setelah Rosulullah SAW wafat, bukanlah pembentukan syari’at yang sebenarnya. Hal itu hanya merupakan perluasan dan penyederhanaan kaidah-kaidah umum, dan mencari perbandingan-perbandingan (Qiyas) masalah yang tercantum dalam nash (teks).
Fiqih dalam era Sighar Sahabat dan Tabi’in
Klasifikasi perkembangan fiqih kedalam era sighar sahabat dan tabi’in sebenarnya masih membingungkan banyak pengamat. Kebingungan itu dapat dipahami dengan melihat munculnya pergolakan-pergolakan yang terjadi selama kekhalifahan Utsman dan Ali, dan memuncak pada pemerintahan Daulah Umayyah, karena itu, banyak pengamat sejarah islam berkesimpulan bahwa periode ini lebih merupakan masa munculnya persoalan-persoalan teologis, sedangkan kajian- kajian fiqih tenggelam di bawah perpecahan kesatuan agama dan negara.
Bahwa pergolakan politik pada masa-masa awal dari pemerintahan Daulah Uamayyah telah melahirkan agitasi teologis adalah suatu hal yang tidak bisa di pungkiri, tetapi pergolakan itu sendiri juga membawa pengaruh besar terhadap perkembangan fiqih hingga menghantarkan fiqih menuju era kodifikasi dan muncul para aimmah mazhahib (para imam mazhab).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fiqih Pada Periode Ini.
Secara umum para sighar sahabat dan tabi’in mengikuti manhaj (metode, sistem, atau kaidah-kaidah istidlal) sahabat dalam mencari hukum. Mereka merujuk pada ijtihad sahabat (kesepakatan) dan baru setelah itu mereka sendiri melakukan ijtihad sesuai dengan kaidah ijtihad para sahabat, kendati demikian, ada beberapa perkembangan baru yang membedakan perkembangan fiqih antara periode ini dengan periode sebelumnya.
Periode tabiin dan lahirnya madzhab fiqih
Dimasa tabi’in murid-murid para sahabat meneruskan penyebaran ilmu fiqih dikawasan masing-masing. Di Madinah ada Sa’id bin Musayyab (W 98 H). Urwh bin Zubair (W 94 H) dan Ibn Syihab (124). Sedangkan di Mekah ada ‘Attha’ bin Rabah, Mujahid bin Jabr dan dibeberapa tempat lainnya dan murid-murid yang berbeda. Melalui mereka inilah kesinambungan penyebaran fiqih diteruskan dari generasi sebelum mereka.
Kajian hukum fiqih semakin berkembang beberapa tahun berikutnya. Seiring munculnya madzhab–madhzab fiqih seperti madzhab Ja’fari dan Hanafi di Kufah. Maliki di Madinah, Syafi’i di Baghdad-Mesir dan sebagainya.khazanah kajian hukum yang pada periode sebelumnya cuma berbentuk fatwa-fatwa hukum atau pengajaran secara dialogis, kini telah berkembang menjadi studi keilmuan yang memiliki landasan metodelogi dan epistemologi tersendiri. Ilmu fiqih yang sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Hingga permulaan masa tabi’in
1. Metode tabi’in dalam mengenal hukum
Pada periode ini ialah, “Menerima hukum yang dikumpulkan oleh seseorang mujtahid dan memandang pendapat mereka seolah-olah nash syara’ sendiri.” Jadi taqlid itu menerima saja pendapat seseorang mujtahid sebagai nash hukum syara’. Dalam periode taqlid ini, kegiatan para ulama’ Islam banyak mempertahankan ide dan mazhabnya masing-masing.
Sebelumnya perlu ditegaskan bahwa setiap mazhab fiqh mempunyai ushul fiqh. Hanya saja, metode penulisan mereka berbeda. Metode penulisan ushul fiqh yang ada yaitu;
a. Metode mutakallimin
Metode penulisan ushul fiqh ini memakai pendekatan logika (mantiqy), teoretik (furudl nadzariyyah) dalam merumuskan kaidah, tanpa mengaitkannya dengan furu’. Tujuan mereka adalah mendapatkan kaidah yang memiliki justifikasi kuat. Kaidah ushul yang dihasilkan metode ini memiliki kecenderungan mengatur furu’ (hakimah), lebih kuat dalam tahqiq al masail dan tamhish al khilafat. Metode ini jauh dari ta’asshub, karena memberikan istidlal aqly porsi yang sangat besar dalam perumusan. Hal ini bisa dilihat pada Imam al Haramain yang kadang berseberangan dengan ulma lain. Dianut antara lain oleh; Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan Syiah.
b. Metode Fuqaha
Tidak diperdebatkan bahwa Abu Hanifah memiliki kaidah ushul yang beliau gunakan dalam istinbath. Hal ini terlihat dari manhaj beliau; mengambil ijma’ shahabat, jika terjadi perbedaan memilih salah satu dan tidak keluar dari pendapat yang ada, beliau tidak menilai pendapat tabiin sebagai hujjah. Namun, karena tidak meninggalkan kaidah tersebut dalam bentuk tertulis, pengikut beliau mengumpulkan masail/furu’ fiqhiyyah, mengelompokkan furu’ yang memiliki keserupaan dan menyimpulkan kaidah ushul darinya. Metode ini dianut mazhab Hanafiyyah. Sering pula dipahami sebagai takhrij al ushul min al furu’. Metode ini adalah kebalikan dari metode mutakallimin
2. Keistimewaan pada masa tabi’in
Berkembangnya beberapa pusat studi Islam, menurut Manna' al-Qatthan telah melahirkan dua tradisi besar dalam sejarah pemikiran Islam. Keduanya adalah tradisi pemikiran Ahl al-Ra'y dan tradisi pemikiran Ahl al-Hadits. Menurutnya, mereka yang tergolong Ahl al-Ra'y dalam menggali ajaran Islam banyak menggunakan rasio (akal). Sedangkan mereka yang tergolong Ahl al-Hadits cenderung memarjinalkan peranan akal dan lebih mengedapankan teks-teks suci dalam pengambilan keputusan agama (hlm. 289-290).
• Fiqih sudah sampai pada titik sempurna pada masa ini.
• Pada masa ini muncul ulam’-ulama’ besar, fuqoha’ dan ahli ilmu yang lain.
• Madzhab fiqih pada masa ini sudah berkembang dan yang paling masyhur adalah 4 madzhab.
Telah dibukukan ilmu-ilmu penting dalam islam. Diantaranya, dalam madzhab abu hanifah : kutub dzohir al Riwayah yang diriwayatkan dari oleh Muhammad bin al Hasan dari Abu Yusuf dari imam Abu Hanifah, kemudian dikumpulkan menjadi kitab al Kafi oleh al Hakim as Syahid. Dalam madzhab imam Malik : al Mudawwanah yang diriwayatkan oleh Sahnun dari Ibnu Qosim dari imam Malik. Dalam madzhab imam Syafi’i kitab al Um yang diimlakkan oleh imam kepada muridnya di Mesir. Dalam madzhab imam Ahmad kitab al Jami’ al Kabir yang dikarang oleh Abu Bakar al Khollal setelah mengumpulkannya dari pere murid imam Ahmad.
Peristiwa pemberlakukan hukum di kawasan pemerintahan Islam tidak hanya terjadi di daerah kekuasaan Daulah Utsmaniyyah saja. Di Mesir, tarik menarik antara penerapan hukum Islam dengan penerapan hukum positif (barat) juga terjadi. Dan hukum Islam pun akhirnya harus puas berkiprah hanya pada tingkat wacana. Sedangkan dalam aplikasinya, pemerintah lebih memilih untuk menerapkan sistem hukum positif. Bahkan, hukum positif yang diberlakukan di Mesir tidak hanya menyangkut masalah pidana, namun dalam masalah perdata juga diterapkan.

Memasuki Era Modern
Semenjak awal pemerintahan islam, hukum yang diterapkan oleh pemerintah, yang lazim disebut “hukum positif” adalah hukum syari’ah islam. Pemegang kendali pemerintahan dari kalangan dinasti-dinasti menerapkan hukum syari’ah dengan cara mangadopsi hasil pemikiran ulama besar, dengan sedikit “revisi” oleh ulama pemerintah. Dengan kata lain hukum syari’ah itu fiqih. Memasuki abad modern, dunia Islam yang waktu itu dipegang oleh dinasti utsmani, berhadapan dan bergaul dengan peradaban barat, apalagi kekuasaan kerajaan utsmani meliputi sebagian benua Eropa. Teknologi yang dimiliki oleh bangsa Eropa akhirnya membelalakkan mata utsmani, bahwa ternyata kekuatan militer orang Islam tidak dapat lagi mengalahkan kekuatan mereka. Kekuatan barat yang ian lama kian mengancam kekuatan utsmani telah menimbulkan opini para pemikir bahwa peradaban islam telah ketinggalan dar barat. Hal yang sama bukan hanya di alami oleh Turky tetapi juga daerah-daerah lain. Maka pada penghujung pemerintahan Utsmani muncul “sekularisasi” tidak terkecuali di bidang hukum islam.
Peradaban barat berlandaskan pada konsep-konsep dan lembaga-lembaga yang asing bagi tradisi islam. Hukum syari’ah yang di landaskan berdasarkan kesetiaan yang tepat terhadap doktrin yang sudah mapan (taqlid) bertentangan dengan kebutuhan masyarakat islam. Di sisi lain, mereka melihat bahwa hukum barat berpeluang mengatasi persoaln mereka. Akibatnya, syari’ah di kesampingkan, setidaknya sebagian diganti dengan hukum yang di ilhami barat dalam bidang tertentu yang orang Islam memang harus menyesuaikan diri dengan kondisi modern.
Sudah pasti hukum syariat yang diganti bukan hukum yang mengurusi ibadah (hubungan vertikal antara manusia dengan Allah), tetapi yang mengurusi hubungan sesama manusia, seperti publik, hukum antar bangsa, hukum tentang pemerintahan dan hukum dagang.
Kenyataan yang di alami fiqih islam sepanjag beberapa abad terahir ini terus membayang-bayangi kita. Fiqih telah terkucilkan sedemikian rupa, sehingga tidak pernah di sebut-sebutkecuali dalam urusan kekeluargaan, seperti peernikahan, percaraian, warisan, wasiat,dll. Kenyataan itu menyebabkan kelengahan lebih parah lag hingga tidak ada seorangpun yang tertariku untuk mengkaji fiqih islam dalam bentuk kajian ilmiah.
Itu semua terjadi ketika kita lebih cenderung menggunakan hukum-hukum prancis. Dan kita jadikan sebagai sumber perundang-undangan kita sejak akhir abad ke-19 masehi. Setelah sekian lama kita mengabaikan fiqih islam, kemudian kita lebih tertarik pada hukum-hukum asing, atau jika ingin menyebutnya lebih halus, undang-undang yang bercampur aduk, maka kehancuranlah yang kita saksikan.

Penyerapan Hukum Eropa
Semenjak abad ke-19 tumbuh kontak yang semakin akrab antara peradaban islam dengan peradaban barat. Selanjutnya perkembangan hukum ditentukan oleh pengaruh-pengaruh baru yang kemudian mendikte islam. Secara politis social dan ekonomis, peradaban barat berlandaskan pada konsep-konsep dan lembaga-lembaga tang asing buat tradisi islam dan hukum yang mengekspresikan tradisi tersebut lantaran kekakuan islam, dan dominannya pada teori taqlid. Lahirlah pertentangan yang jelas-jelas tidak dapat di akurkan antara hukum trdisional (islam) dan kebutuhan masyarakat muslim, sampai mereka hendak mencitakan mengatur diri dengan patokan-patokan dan nilai-nilai barat. Akibatnya, tampaklah bahwa tidak ada pilihan lain kecuali mengesampingkan syari’ah. Ini mulanya terjadi pada semua tingkat dan menggantikannya dengan hukum-hukum yang telah di ilhami barat dan bidang-biang dimana islam merasa harus menyesuaikan diri dengan kondisi modern.

Kecenderungan-Kecenderungan Hukum Di Dunia Islam Masa Kini
Sistem-sistem hukum di dunia islam sekarang secara garis besar bisa di bagi menjadi 3 kelompok :
a. Sistem-sistem yang masih mengakui syari’ah sebagai huku asasi dan kurang lebihnya masih menerapkannya secara utuh.
b. Sistem-sistem yang meninggalkan syari’ah dan menggantikannya dengan hukum yang sama sekali secular ; dan
c. Sistem-sistem yang mengkompromikan kedua pandangan tersebut.

Diantara Negara-negara yang hingga kini masih memprtahankan syari’ah sebagi asasi dan masih berupaya menerapkan dalam segi hubungan kemanusiaan adalah Arab Saudi dan wilayah utara Nigeria.
Arab Saudi adalah Negara islam merdeka dengan corak khas yang setidaknya di bibir masih menghargai syari’ah sebagai hukum yang mengatur setiap aspek kehidupan.Negara ini masih belum mau menerima Sistem hukum lain manapun juga; dan ia sangat sedikit melakukan hukum yang bersumber pada inspirasi barat. Memang setiap aturan huku yang bertentangan dengan konsep asasi islam berarti, secara teoritik , juga bertentangan dengan hukum asasi hijaz yang dinyatakan berlaku oleh mendiang raja Abdul azis Ibnu su’ud karena pasal 6 hukum tersebut menyatakan :
“aturan hukum di kerajaan hijaz harus senantiasa di sesuaikan dengan kitab Allah (Al-Quran), sunnah nabi dan perbuatan para sahabat serta para pengikut setianya”.
Tetapi meskipun kerajaan arab Saudi secara resmi terikat dengan aliran wahabi yang mengikuti ajaran-ajaran hambali, secara otoritatif ia dinyatakan tidak berkeberatan terhadap ajaran madzhab-madzhab sunni lainnya selama cocok dengankeadaan, atas perintah raja.














BAB III
KESIMPULAN
Fiqih merupakan sumber hukum islam sejak zaman rosulallah hingga sekarang. Perubahan demi perubahanpun terus terjadi, pada zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan sampai saat ini.
Pada zaman Nabi hingga Tabi’in hukum islam benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi, pada saat menginjak zaman modern hukum islam mulai ditinnggalkan, karena terpengaruh oleh hukum-hukum yang berasal dari barat dan mengadopsi hukum yang berada di Negara barat. Contohnya Pada saat ini terutama di Indonesia hukum yang paling sering digunakan atau diterapkan adalah hukum yang sistemnya lebih conndong kepada hukum yang berasal dari barat bukan hukum islam. Dan hukum islam hanya digunakan seperlunya saja, misalnya dalam perkawinan, dan prsoalan waris mewarisi.